PENDAHULUAN
Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BBPTUHPT) Sapi Perah merupakan sebuah instansi milik pemerintah yang bergerak dalam bidang pemuliaan, produksi, pemeliharaan, dan pemasaran. BBPTUHPT Sapi perah Baturraden Sendirimemiliki 3 lokasi .Lokasi yang kami kunjungi untuk prakikum adalah adalah farm Tegalsari yang memiliki luas 34 ha. Tiga daerah lain yaitu terdapat di Munggangsari (10 ha), Limpakuwus (96,7 ha), dan Manggala (100 ha). Cabang BBPTU yang terdapat di Manggala digunakan sebagai rearing (pembesaran) bibit yang telah dihasilkan di ketiga daerah pembibitan. Farm Tegalsari memiliki lahan hijauan 15 ha dari total luas balai. Terdapat 13 tipe kandang berdasarkan status ternak di BBPTU ini. Manajemen ternak sapi perah merupakan hal yang sangat penting. Manajemen sebagai pedoman agar tidak terjadi kerugian baik secara materi maupun kerugian secara genetik dan agar terciptanya bibit unggul sapi perah yang akan menghasilkan produksi susu yang berkualitas baik pula. Program pembibitan dilakukan dengan melaksanakan program
pemuliaan (seleksi dan persilangan) dan memperbaiki performa reproduksi. Performa reproduksi sapi perah tidak hanya tergantung pada gen-gen yang dimiliki ternak. Keadaan lingkungan juga turut menunjang munculnya performa reproduksi secara optimal. Pada iklim mikro yang berbeda reproduksi ternak didaerah tropis dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kelembaban dan pakan yang tersedia bagi ternak. Suhu dan kelembaban lingkungan yang tinggi serta kondisi pakan yang buruk menghambat laju reproduksi. Laju reproduksi yang rendah akan membatasi program seleksi.
Reproduksi sangat menentukan keuntungan yang akan diperoleh usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi pada sapi perah betina dapat menimbulkan berbagai kerugian seperti menurunkan produksi susu harian dan laktasi sapi produktif, meningkatkan biaya perkawinan dan laju pengafkiran sapi betina serta memperlambat kemajuan genetik dari sifat bernilai ekonomis. Banyak faktor mempengaruhi kinerja reproduksi individu sapi yang sering kali sulit diidentifikasi. Bahkan dalam kondisi optimum sekalipun, proses reproduksi dapat berlangsung tidak sempurna disebabkan kontribusi berbagai faktor, sehingga berpengaruh selama proses kebuntingan sampai anak terlahir dengan selamat.
Keberhasilan usaha peternakan sapi perah sangat tergantung dari keterpaduan langkah terutama di bidang pembibitan (Breeding), pakan, (feeding), dan tata laksana (management). Ketiga bidang tersebut kelihatannya belum dapat dilaksanakan dengan baik.sehigga selain dari breeding , feeding yam tidak kalah penting adalah management, khususnya alam hal ini yang akan dibahas adalah management perkandangan yang baik untuk sapi perah khususnya yang berada di BBPTUHPT-BATURRADEN.
1.2 Rumusan
masalah
1. Bagaimana
manajemen reproduksi sapi perah di BBPTU HPT Sapi perah Baturraden (farm tegal
sari ) ?
2. Apa
sajakah teknologi reproduksi yang digunakan di BBPTU HPT Sapi perah Baturraden
(farm tegal sari ) ?
3. Bagaimana
perkandangan yang digunakan di BBPTU HPT Sapi perah Baturraden (farm tegal sari
) ?
TINJAUAN PUSTAKA
Efisiensi reproduksi adalah ukuran kemampuan seekor sapi untuk bunting dan menghasilkan keturunan yang layak (Niazi, 2003). Sedangkan menurut Hafez (1993) efisiensi reproduksi adalah penggunaan secara maksimum kapasitas reproduksi. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama melalui penerapan bioteknologi atau mengembangkan teknologi praktis dan praktek-praktek manajemen yang dapat meningkatkan efisiensi reproduksi (Basyir, 2009).
Manajemen perkawinan ternak yang baik juga merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan efisiensi reproduksi termasuk perbaikan keturunan. Salah satu cara untuk memperbaiki manajemen ternak adalah dengan inseminasi buatan (IB). Dengan hal ini berarti meningkatkan efisiensi reproduksi pada hewan donor tersebut (Wijaya, 2008).
Ukuran efesiensi reproduksi dalam usaha peternakan sangatlah penting, dengan adanya beberapa ukuran efesiensi reproduksi sapi perah berdasarkan penampilan reproduksi (Djagra, 1989 ): periode kosong yaitu periode atau selang waktu sejak sapi beranak sampai dikawinkan kembali dan terjadi kelahiran, kawin pertama setelah beranak yaitu selang waktu sejak sapi beranak sampai dikawinkan kembali, jumlah kawin pada setiap kelahiran yaitu berapa kali sapi dikawinkan sampai terjadi kelahiran. Lama bunting yaitu selang waktu sejak sapi dikawinkan dan terjadi kelahiran sampai sapi beranak.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi reproduksi antara lain pakan nutrisi yang terkandung di dalam ransum berpengaruh pada organ-organ reproduksi dan fungsi kelenjar-kelenjar yang memproduksi hormon. Manajemen atau tatalaksana sangatlah berpengaruh terhadap ternak sapi. Penyakit dan suhu udara dan musim sangat berpengaruh terhadap sifat reproduksi (Suyasa, 1999).
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil
3.1.1 Profil perusahaan
a. Nama Perusahaan : BBPTU-HPT Batturaden Farm Tegal
Sari
b. Jenis usaha : UPT (Unit Pelaksana Teknis)
c. Lokasi perusahaan : Desa Kemutug Lor, Kec. Baturraden,
Kab.
Banyumas
d.
Cabang BBPTU-HPT : -Area Farm Tegalsar
-Area Farm Limpakuwus
-Area Munggangsari
-Area Farm Manggala
3.1.2 Manajemen
reproduksi
a. Kontrol :
pubertas, deteksi birahi dan Voluntary
Waiting Period dan sinkronasi birahi
b. Teknik reproduksi :
Transfer embrio (TE), Inseminasi buatan
(IB)
3.1.3 Manajemen perkandangan :
a. Kandang A, B, C sapi dewasa dan sapi
laktasi
b.
Kandang D dan F digunakan untuk sapi bunting dan beranak.
c.
Kandang E, E1, E2 digunakan untuk pedet individu dan koloni.
d.
Kandang G untuk dara bunting,
e.
kandang H untuk pejantan progeny
f.
kandang I dan J untuk sapi dara
g.
Kandang vistole untuk sapi laktasi
h.
Kandang K untuk sapi kering.
Jumlah
sapi induk di BBPTU adalah 231 ekor, dara (umur >6 bulan) sebanyak 94 ekor,
pedet (umur 1-6 bulan) sebanyak 169 ekor, sapi laktasi 116 ekor dan jantan muda
1 ekor. BPPTU-HPT memiliki laboratorium yang digunakan untuk uji residu
antibiotik, dan uji kualitas susu.
2.1 Profil BBPTU HPT Baturraden
Lokasi BBPTUHPT Baturraden berada
pada wilayah yang meliputi 4 (empat) area, yaitu : (a) area Farm Tegalsari; (b)
area Farm Limpakuwus; (c) area Munggangsari dan (d) area Farm Manggala. Keempat
area tersebut berada dilereng kaki Gunung Slamet sisi arah Selatan. Untuk area
Farm Tegalsari, Munggangsari dan Limpakuwus berada didalam kawasan wisata
Baturraden yang berjarak + 15 km ke arah Utara dari Kota Purwokerto, sedangkan
area Farm Manggala yang berjarak + 30 km ke arah Barat dari kota Purwokerto.
Secara administratif area Farm Tegalsari
berada di wilayah Desa Kemutug Lor Kecamatan Baturraden; area Munggangsari
berada di wilayah Desa Karangsalam Kecamatan Baturraden; area Farm Limpakuwus
berada di wilayah Desa Limpakuwus Kecamatan Sumbang serta area Farm Manggala
berada di wilayah Desa Karangtengah Kecamatan Cilongok dan Desa Tumiyang
Kecamatan Pekuncen.
2.2 Manajemen
Reproduksi Ternak Sapi Perah
2.2.1
Pubertas
Dewasa
kelamin adalah periode dalam kehidupan sapi dimana alat reproduksi mulai
berfungsi. Pada umumnya semua hewan akan mencapai kedewasaan kelamin sebelum
dewasa tumbuh (Anonim, 1995).
Perkembangan
dan pendewasaan alat kelamin dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah
bangsa sapi dan manajemen pemberian pakan.
Dalam kondisi pemberian pakan yang baik pubertas pada sapi betina dapat
terjadi pada umur 5 – 15 bulan. Bobot
badan yang ideal untuk pubertas berkisar 227 – 272 kg pada umur rata – rata 15
bulan (Anonim, 2011b).
2.2.2
Deteksi Berahi
Berahi ternyata bertepatan dengan perkembangan maksimum
folikel-folikel ovarium. Tanda-tanda sapi berahi antara lain vulva nampak lebih
merah dari biasanya, bibir vulva nampak agak bengkak dan hangat, sapi nampak
gelisah, ekornya seringkali diangkat bila sapi ada di padang
rumput sapi yang sedang berahi tidak suka merumput. Kunci untuk menentukan yang mana
diantara sapi-sapi yang saling menaiki tersebut berahi adalah sapi betina yang
tetap tinggal diam saja apabila dinaiki dan apabila di dalam
kandang nafsu makannya jelas berkurang (Siregar, 2003). Siklus berahi pada sapi berlangsung
selama 21 hari. Rata-rata berahi berlangsung selama 18 jam
dan ovulasi dimulai 11 jam kemudian (Rioux dan Rajjote, 2004).
Menurut Prihatno (2006),
bahwa pengamatan estrus merupakan salah satu faktor
penting dalam manajemen reproduksi sapi perah. Kegagalan dalam deteksi estrus dapat
menyebabkan kegagalan kebuntingan. Problem utama deteksi estrus umumnya dijumpai sapi-sapi
yang subestrus atau silent heat, karena tidak semua peternak mampu
mendeteksinya, untuk itu diperlukan metode untuk mendeteksi berahi
Deteksi
berahi paling sedikit dilaksanakan dua kali dalam satu hari, pagi hari dan
sore/malam hari. Berahi pada ternak di sore
hari hingga pagi hari mencapai 60%, sedangkan pada pagi hari sampai sore hari
mencapai 40% (Laming, 2004). Menurut Ihsan (1992), bahwa deteksi berahi umumnya dapat dilakukan dengan melihat tingkah laku ternak
dan keadaan vulva.
2.2.3
Voluntary Waiting Period (VWP)
Prentice (2006), mendefinisikan VWP sebagai interval waktu dari
saat induk melahirkan hingga waktu paling tepat untuk dilakukannya perkawinan
setelah melahirkan. Lebih lanjut Miller
(2007), mengemukakan VWP adalah tenggang waktu yang timbul akibat ditundanya
inseminasi buatan pertama setelah kelahiran, sehingga dapat berpengaruh terhadap
produksi susu pada periode selanjutnya.
VWP
umumnya berlangsung selama 40-70 hari (Prentice,2006); 60 -80 hari (Inchaisri, dkk,
2010) atau 45 hari (Honarvar, dkk., 2010).
Panjang pendeknya masa VWP secara mendasar berangkat dari dua
pertimbangan utama, yaitu pertimbangan fisiologis dan ekonomi. Secara fisiologi, Prentice (2006)
mengemukakan, bahwa VWP memberi kesempatan berlangsungnya involusi uterus atau
pemulihan kondisi organ reproduksi induk setelah melahirkan hingga induk siap
kembali untuk proses reproduksi selanjutnya.
Pertimbangan
ekonomis dilakukan berdasarkan pengaruh VWP terhadap tingkat konsepsi,
kebuntingan, efisiensi tenaga kerja dan produktivitas susu induk. Aspek reproduksi dan hubungan antara kerugian
ekonomi dengan VWP ditunjukkan. Setiap
VWP di atas 6 minggu (42) hari selalu memberikan kehilangan nilai ekonomi
setiap tahunnya, namun VWP yang optimum adalah VWP yang kurang dari 10 minggu
(70 hari ) atau 6-10 minggu. Lebih tepatnya, VWP selama 7 minggu (49 hari)
menghasilkan kehilangan nilai ekonomi sebesar 2,20€/tahun dari sekitar 27%
populasi induk (Prentice, 2006).
Pada diagnosa kebuntingan hari ke-71, terlihat
proporsi induk yang tidak bunting sekitar 80% pada induk dengan VWP 50 hari,
sementara induk dengan VWP 71 hari baru diinseminasi. Walaupun dengan VWP yang lebih panjang,
tingkat kebuntingan yang terjadi pada hari ke-80 adalah sama pada semua induk
sampel (Adams, 2008). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa VWP 71 hari
memiliki S/C yang lebih baik dibandingkan dengan induk dengan VWP 50 hari.
2.2.4
Sinkronisasi Berahi/ Induksi Berahi
Penyerentakan
berahi atau sinkronisasi estrus adalah usaha yang bertujuan untuk mensinkronkan
kondisi reproduksi ternak sapi donor dan resipien. Sinkronisasi atau induksi estrus adalah
tindakan menimbulkan berahi, diikuti ovulasi fertil pada sekelompok atau
individu ternak dengan tujuan utama untuk menghasilkan konsepsi atau
kebuntingan. Angka konsepsi atau kebuntingan
yang optimum merupakan tujuan dari aplikasi sinkronisasi estrus ini (Salverson
dan Perry, 2007).
Menurut
Patterson., dkk (2005), metode pertama sinkronisasi estrus dengan pemberian
sediaan berbasis progestin. Hormon ini
bekerja dengan kemampuannya menimbulkan pengaruh umpan-balik negatif ke
hipotalamus, sehingga penghentian pemberiaannya akan menyebabkan pembebasan
GnRH dari hipotalamus, diikuti dengan pembebasan FSH dan LH dari pituitari
anterior, serta terjadilah estrus dan diikuti ovulasi. Sediaan implan
progesteron yang kini masih banyak digunakan adalah implan progesteron intravagina controlled internal drug release
(CIDR, eazibreedTM, InterAg, Hamilton, New Zealand). Pemberian progesteron lebih dari 14 hari akan
menyebabkan sinkronisasi estrus, namun fertilitas yang diinduksi akan sangat
menurun.
Metode kedua sinkronisasi estrus dengan pemberian sediaan berbasis
PGF2α. Prostaglandin F2α yang bekerja melisiskan korpus luteum yang berakibat
turunnya kadar progesteron plasma dengan tiba-tiba. Lisisnya korpus luteum
diikuti dengan penurunan progesteron yang dihasilkan, akibatnya terjadi
pembebasan serentak GnRH dari hipotalamus, diikuti dengan pembebasan FSH dan LH
dari pituitari anterior, sehingga terjadilah estrus dan ovulasi. Keberhasilan sinkronisasi estrus tergantung
dari penurunan serentak kadar progesteron dalam darah, serta perkembangan dan
ovulasi dari folikel ovaria. Prostaglandin F2α hanya efektif bila ada korpus
luteum yang berkembang, antara hari 7 sampai 18 dari siklus estrus; sedangkan
penurunan progestagen eksogen hanya efektif bila terjadi regresi korpus luteum
secara alami atau induksi (Salverson dan Perry, 2007).
2.3 Teknologi Reproduksi Di
BBPTUHPT Sapi Perah
Baturraden (Farm Tegal Sari )
Inseminasi buatan adalah
proses perkawinan buatan yang dilakukan kepada ternak dengan memasukan semen kedalam tubuh ternak
betina melalui vulva melewati empat cincin cornua dan disuntikan ketika sampai
di cervix ternakanya.Straw yang digunakan untuk inseminasi buatan adalah straw
FH dari pejantan unggul yang langsung
dari NewZealand. Selain Inseminasi
buatan , teknologi perkawinan yang digunakan di BBPTU-HPT Sapi
perah Baturraden (farm tegal sari )
adalah teknologi transfer embrio secar segar maupun beku yang didapatkan
embrio dari balai embrio ternak di cipelang-bogor.penggunaan TE sendiri hanya
bepengaruh 45% pada pengunaanya di BBPTUHPT Sapi perah Baturraden (farm tegal
sari ) sendiri.
Teknologi
Reproduksi Di BBPTU-HPT Sapi Perah Baturraden (Farm
Tegal Sari ) Program Transfer Embrio. Program Transfer Embrio
dapat meningkatkan mutu ternak dalam waktu yang relatif pendek bila
dibandingkan dengan teknologi Inseminasi Buatan yang telah berkembang di
Indonesia. Transfer Embrio merupakan suatu sistem perkawinan yang memproduksi
banyak embrio dalam satu siklus berahi dan ditransfer ke resipien sampai lahir.
Sapi yang digunakan pada program Transfer Embrio tidak perlu dari bangsa yang
unggul, tetapi harus mempunyai siklus estrus yang teratur. Untuk itu, seleksi
resipien perlu dilakukan sebelum program Transfer Embrio dimulai. Seleksi
terhadap resipien mencakup siklus berahi sapi. Sapi yang mempunyai siklus
berahi terlalu panjang atau tidak teratur tidak dapat dipakai sebagai resipien
(Udin, 1997).
Prinsip dasar transfer embrio adalah dengan menitipkan embrio
yang dihasilkan kepada ternak/indukan lain istilah lainnya hanya meminjam rahim
dari ternak resipien. Transfer Embrio diawali dengan
penyuntikan hormon reproduksi seperti FSH ke ternak donor dengan tujuan untuk
merangsang dan memperbanyak ovulasi (pelepasan sel telur) sehinga didapat
embrio dengan jumlah yang lebih dari 1 (satu). Penyuntikan hormon FSH ini
dilakukan selama 4 (empat) hari berturut-turut pagi dan sore hari dengan dosis
menurun dan interval penyuntikan setiap harinya 8 – 12 jam dan pada hari ke 3
ditambahkan dengan penyuntikan PGF2α dengan tujuan supaya donor tersebut
berahi. Inseminasi Buatan dilakukan pada hari kedua-ketiga (48-72 jam)
setelah pemberian PGF2α atau setelah donor tersebut menunjukkan tanda-tanda
berahi dan IB dilaksanakan sebanyak 3 kali dengan interval inseminasi setiap 12
jam.
Flushing (Panen Embrio) dilakukan pada hari ke
7 setelah berahi atau setelah IB pertama kali. Tahapan dalam pelaksanaan
flushing adalah dengan menyiapkan media flushing seperti Lactated Ringer/PBS,
Calf serum 1%, Antibiotik dan anastesia lokal (Lidocain HCl 2%)
sedangkan peralatan yang digunakan cervix expander, folley catheter,
selang silicon, stilet, botol penampungan media, jarum suntik,
spuit, gunting, glove dan gun spul (Direktorat
Perbibitan Ternak, 2012).
Langkah berikutnya adalah dengan menempatkan ternak yang
akan di flushing ke kandang jepit dilanjutkan dengan melakukan anastesi
epidural lalu melakukan pembersihan rektum dan memasukan expander
dengan tujuan untuk membuka celah cervix diteruskan dengan memasukan folley
catheter diarah bisa ke arah kanan atau kiri terlebih dahulu dan memberikan
balon udara dengan tujuan untuk membendung cairan flushing yang terdapat embrio
langkah berikutnya adalah melakukan pemanenan embrio dengan cara
pembilasan lactat ringer dan dilakukan berulang ulang sampai
habis. Setelah pelaksanaan flushing dilakukan penyuntikan PGF2α yang
bertujuan untuk meluruhkan CL yang ada sehingga mempercepat timbulnya berahi
lagi dan uterus dibilas dengan iodine povidon bertujuan untuk mencegah infeksi
dan membersihkan saluran reproduksinya (Direktorat
Perbibitan Ternak,2012).
Transfer embrio baik yang beku ataupun segar mempunyai
beberapa keuntungan diantaranya mendapatkan keturunan yang terbaik dari ternak
yang mempunyai keunggulan secara genetik, jumlah keturunan yang didapat lebih
dari satu jika dibandingkan secara alami ternak hanya mendapatkan
keturunan satu ekor pertahunnya, diperoleh keturunan sifat dari kedua tetuanya,
memperpendek interval generasi sehingga perbaikan mutu genetik ternak lebih
cepat diperoleh, bahkan bisa dibuat induksi untuk kelahiran kembar (ganda).
Namun transfer embrio juga mempunyai beberapa kelemahan diantaranya membutuhkan
biaya yang sangat besar, ketersediaan hormone reproduksi yang masih tergantung
dari luar negeri karena belum banyak diproduksi di dalam negeri.
Transfer embrio dilakukan pada hari ketujuh setelah berahi
dan dilakukan pemeriksaan terhadap ternak resipien melalui palpasi
rektal dengan tujuan mengecek ada tidaknya CL (Corpus Lutheum) adanya CL
merupakan salah satu indikator bahwa ternak tersebut mempunyai kandungan hormon
progesteron yang tinggi yang berperan dalam mempertahankan kebuntingan.
Ada
beberapa kesalah fahaman yang sering terjadi pada saat pelaksanaan transfer
embrio ini dilapangan diantaranya adalah :
1.
Adanya anggapan bahwa dengan tranfer embrio jaminan 100%
bunting padahal sebenarnya tidak seperti itu hal tersebut tergantung dari
beberapa hal diantaranya : Kondisi ternak resipiennya jika kondisinya tidak
bagus maka kemungkinan tingkat keberhasilannya kecil sekali, Asupan nutrisi
yang diberikan jika kualitas nutrisi yang diberikan kurang bagus juga akan
mempengaruhi tingkat keberhasilan transfer embrio tersebut, manejeman
pemeliharaan, kultur pemeliharaan sering ditemui sapi yang telah dilakukan TE
banyak dipekerjakan di ladang/sawah hal tersebut sering terjadi di tingkat
petani peternak;
2.
Adanya anggapan bahwa ternak yang sudah di IB beberapa kali
(lebih dari 4 kali) maka dengan transfer embrio ternak tersebut akan dengan
mudah terjadi kebuntingan padahal jika melihat kondisi hal tersebut meunjukkan
kemungkinan ternak tersebut mempunyai permasalahan di reproduksinya sedangkan
untuk transfer embrio ini menuntut serba lebih pada pelaksanaannya.
Transfer Embrio merupakan suatu teknik yang dikenal juga
dengan genetic manipulation. Keuntungan praktis dari transfer embrio adalah
untuk meningkatkan kapasitas reproduksi ternak yang berharga. Untuk beberapa
tahun peningkatan mutu genetic ternak
sapi telah dilakukan dengan metode inseminasi buatan dengan memanfaatkan sisi
pejantan.
Berbeda halnya dengan Transfer embrio dimana dapat
mempercepat percepatan dari sisi betina, namun berjalan sangat lambat karena
ternak sapi betina bersifat monotokus dan mempunyai masa kebuntingan yang cukup
panjang. Transfer embrio adalah suatu teknik dimana embrio (fertilized ova)
dikoleksi dari alat kelamin ternak betina menjelang nidasi dan
ditransplantasikan ke dalam saluran reproduksi betina lain untuk melanjutkan
kebuntingan hingga sempurnah, seperti konsepsi, implantasi/nidasi dan kelahiran
(Suprijatna,1992 ).
Transfer embrio (TE) merupakan
generasi kedua bioteknologi reproduksi setelah inseminasi buatan (IB).
Teknologi ini memiliki kelebihan dari ilmu reproduksi lainnya seperti IB.
Transfer embrio merupakan suatu proses, mulai dari pemilihan sapi-sapi donor,
sinkronisasi birahi, superovulasi, inseminasi, koleksi embrio, penanganan dan
evakuasi embrio, transfer embrio ke resipien sampai pada pemeriksaan
kebuntingan dan kelahiran.
Transfer embrio
memiliki manfaat ganda karena selain dapat diperoleh keturunan sifat dari kedua
tetuanya juga dapat memperpendek interval generasi sehingga perbaikan mutu
genetik ternak lebih cepat diperoleh. Selain itu, dengan TE seekor betina unggul
yang disuperovulasi kemudian diinseminasi dengan sperma pejantan unggul dapat
menghasilkan sekitar 40 ekor anak sapi unggul dan seragam setiap tahun, bila
dibandingkan dengan perkawinan alam atau IB hanya mampu melahirkan 1 ekor anak
sapi pertahun. Bahkan bisa dibuat kembar identik dalam jumlah yang banyak dengan
menggunakan teknik "kloning" (Anonim., 2009).
Target dari
teknologi ini adalah perbaikan mutu genetik ternak melalui perbaikan mutu
genetik induk dengan meningkatkan potensi reproduksinya. Hal ini hanya akan
dapat dicapai dengan pengembangan teknologi ovulasi ganda, embrio recovery dari
ternak donor dan transfer embrio ke ternak penerima yang akan meningkatkan laju
reproduksi pada ternak betina donor. Pada negara yang telah maju hal ini
digunakan sebagai skema inti dari program pemuliaan untuk meningkatkan mutu
genetik ternak. Walaupun demikian dalam penerapannya di lapangan variasi embrio
recovery yang diikuti
terjadinya generation intervals dapat menyebabkan menurunkan tingkat seleksi,
yang akhirnya dalam evaluasi dan seleksi ternak mengakibatkan terjadinya
inbreeding antara ternak-ternak yang terdapat di dalam lokasi inti dan ternak
yang terdapat di lokasi inti dari suatu program peternakan dapat digunakan
sebagai pusat pengkajian dan penerapan bioteknologi reproduksi dimasa yang akan
datang.
Sejak tahun
1975 MOET sudah diterapkan pada sapi pedaging, sedangkan pada sapi perah baru
diterapkan pada tahun 1977. Pada sapi perah, penerapan MOET untuk peningkatan
mutu genetik hanya dapat dicapai dengan adopsi inovasi program pemulian
(breeding program) yang lebih detail terutama dalam seleksi baik jantan dan
betina, dan ini sangat berbeda sekali dengan program seleksi yang dilakukan
dengan menggunakan progeny test dimana jumlah tenaga yang digunakan sangat
besar sehingga harus disadari bahwa penerapan MOET pada program sapi perah
harus merupakan seluruh program seleksi yang utuh dan dapat dilakukan oleh
jumlah tenaga yang sedikit saja. Program MOET yang diterapkan pada program inti
dengan jumlah sapi yang kecil dapat mempercepat peningkatan mutu genetik antara
10% sampai 25% (Lubis., 2000).
Teknologi transfer embrio
adalah aplikasi bioteknologi reproduksi ternak melalui teknik Multiple
Ovulation Embrio Transfer (MOET) serta rekayasa genetik untuk
meningkatkan mutu genetik dalam waktu yang lebih singkat dan jumlah yang lebih
banyak. Pedet (anak sapi) hasil transfer embrio langsung adalah murni turunan
betina donor dan pejantan unggul (Pedigree), sedangkan jika menggunakan teknik
Inseminasi Buatan untuk mendapatkan turunan yang mendekati murni (F5)
dibutuhkan waktu 20-25 tahun. Teknik produksi embrio dapat dilaksanakan dengan
bebrapa cara seperti cara konvensional atau in vivo dan metode in vitro sertaOocyt
Pick Up (OPU). Sedangkan untuk pengembangan dan peningkatan produksi
dalam rangka penekanan biaya produksi dapat diterapkan teknik kloning Embrio.
Embrio yang digunakan untuk transfer embrio dapat berupa embrio segar atau embrio
beku (freezing embrio).
Embrio beku
efisien untuk dipakai karena dapat disimpan lama sebagai stock dan apat dibawa
kedaerah-daerah yang membutuhkan. Sedangkan embrio segar hanya dapat di
transfer pada saat produksi di lokasi yang berdekatan dengan donor.
Adapun manfaat dan keuntungan dari pelaksanaan transfer embrio adalah sebagai
berikut:
·
Meningkatkan mutu genetik ternak dalam waktu relatif
pendek (mempertinggi kapasitas produksi sapi betina induk atau dara dan
pejantan (bull).
·
Meningkatkan penyediaan sumber bibit unggul.
·
Memanfaatkan sapi lokal yang kurang unggul untuk
menghasilkan keturunan yang unggul.
·
Meningkatkan pendapatan masyarakat (Anonim., 2009).
Produksi embrio
tergantung pada ketersediaan sarana dan prasarana SDM dan sapi betina unggul
hasil TE sebagai donor. Distribusi embrio diarahkan ke lokasi pengembangan
yaitu UPT Pusat Daerah, Pembibitan swasta dan Pusat pembibitan ternak rakyat
yang ditujukan untuk meningkatkan mutu genetik dengan ketersediaan anak
keturunan yang banyak maka diarahkan kepada:
·
Embrio transfer Jenis Sapi Potong. Untuk menghasilkan
bibit yang akan menghasilkan bibit dasar dengan pertambahan bobot badan >
1,5 kg/hari dan mencapai berat > 400 kg pada umur 1,5 tahun. Yang telah di
produksi antara lain Simenthal, Limousin Brangus, Brahman, Angus dan Crossing
Simenthal dan Brahman
·
Transfer embrio sapi perah. Untuk menghasilkan bibit
dasar (Fondation stock) dengan kriteria dari induk produksi susu > 7000 kg
laktasi dan untuk pejantan mewariskan produksi susu > 10.000 kg laktasi.
Bangsa yang telah di produksi adalah FH.
Tiga (3) Faktor penting yang harus
diperhatikan guna keberhasilan pelaksanaan TE ;
·
Kualitas embrio yang akan di transfer, umur, kualitas,
jenis embrio (beku/segar) dan metode pembekuan serta adanya kontaminasi atau
infeksi pada embrio
·
Tingkat keterampilan petugas dalam mentransfer antara
lain kemampuan mendeposisikan embrio secara tepat (1/3 apex cornu uteri) dan
cepat, serta tidak terjadi luka pada uterus
·
Respon sapi resipien terhadap sinkronisasi, kondisi
pakan yang digunakan kondisi tubuh dengan BCS (Body Condition Skor) sedang
antara (2,8 - 3,5), tidak ditemukan peradangan, kondisi ovarium dan CL normal
dan sapi tidak stress (Anonim., 2009).
Teknik Transfer Embrio Pada temak
yang di sinkronisasi 2-3 hari setelah diinjeksi dengan PGF2α terjadi birahi
atau pada ternak yang secara alami telah menampakkan gejala birahi maka
dilakukan seleksi kondisi korpus luteum (CL) melalui palpasi per rektal.
1.
Hari ke-6 setelah birahi dilakukan pemeriksaan CL yang
dilaksanakan oleh petugas ATR atau SC maupun Petugas T
2.
Hari ke-7
(siang sampai sore hari) atau pada hari ke-8 (pagi hari), resipien siap di
transfer jika setelah diperiksa (palpasi per rektal) CL keadaannya lebih besar
dari ovarium atau CL sama besar dengan ovarium. Embrio di transfer secara intrauteri
langsung ke apek uter
3.
Embrio segar setelah di flushing dapat ditransfer
langsung sedangkan embrio beku disesuaikan dulu suhunya baru di transfer.
Calon resipien
dipersiapkan kondisinya seperti kondisi uterus bunting 7 & 8 hari dengan
persiapan yang dilakukan sbb:
·
Secara alami
·
Sinkronisasi birahi dengan preparat hormon
prostaglandin (PGF2α)
Prosedur
Transfer Embrio
1. Siapkan
resipien dikandang jepit
2. Bersihkan
rektum dari kotoran dengan cara palpasi sambil melaksanakan pemeriksaan CL
3. Bersihkan dan
sterilkan bagian sekitar epidural sebelum di anastesi guna menghilangkan
kontraksi dari rectum dan uterus
4. Anastesi
lokal diantara tulang sakrum dengan tulang coccygeal sebanyak 2,5 ml
5. Bersihkan
vulva dengan air hangat dan keringkan dengan tissue dan kapas alkohol untuk
desinfeksi.
6. Ambil straw
embrio beku dari kontainer, biarkan diselama 6 detik (thawing diudara),
kemudian masukkan dalam air bersuhu 30º C selama 30 detik. Siapkan gunting
straw, transfer gun dan plastik sheet
7. Straw embrio
dilap dengan tissue, potong bagian ujung seal laboratorium, pasang pada gun,
dan pasang jacket pelindung, serta glove
8. Buka bibir
pulva dan transfer perlahan-lahan, sampai menembus servik, luka pada uterus (Anonim., 2009).
Penentuan jenis kelamin pada Embrio jenis kelamin yang dibawa secara
genetik oleh individu ditentukan oleh pembawa kromosom yang terdapat pada sel
telur yang dibuahi, baik oleh pembawa kromosom–x ataupun pembawa kromosom-y
yang terdapat di dalam spermatozoa. Jenis kelamin dapat diduga apabila
kromosom-x dan kromosom-y dari spermatozoa dapat dipisahkan sebelum inseminasi.
Jenis kelamin dapat juga diperkirakan dari embrio hasil transplantasi dari
nuclei diploid yang ditanamkan ke dalam enucleated ova, ataupun melalui
perkembangan dari sel telur yang telah difertilisasi setelah pengangkatan satu
pronucleus. Untuk menentukan apakah kromosom yang dibawa adalah xx (untuk
betina) atau xy (untuk jantan) dan ini dapat dilakukan dengan melakukan uji sel
untuk sex kromatin atau y-body, analisa kromosom ataupun deteksi dari pada
antigen yang berlawanan dengan sel yang mengandung y kromosom.
Metode penentuan jenis kelamin pada embrio ini masih banyak kekurangannya.
Dengan teknik ini maka banyak embrio yang rusak ataupun kurang memberikan hasil
yang akurat. Selain itu prosedurnya lambat dan biayanya mahal. Namun apabila
penentuan jenis kelamin pada embrio ini akan tetap dilakukan maka ada tiga
metode untuk penentuan jenis kelamin pada embrio yakni dengan cara:
a. Karyotyping,
Biopsi
(pengambilan jaringan dalam jumlah kecil) dilakukan pada embrio dilanjutkan
dengan menanam embrio dengan colchicine atau zat sejenis yang menyebabkan sel
berhenti membelah pada stadium metaphase dari mitosis. Setelah beberapa jam sel
akan hancur karena tekanan osmosis sehingga preparat akan dapat dicetak dan
diwarnai sehingga kromosom dapat diamati di bawah mikroskop. Keuntungan yang
didapat dengan menggunakan metode ini adalah satu seri metaphase dari kromosom
dapat dibaca (kira-kira separuhnya untuk embrio yang berumur 7 hari). Keuntungan
yang lain adalah kromosom yang abnormal dapat dibaca. Implikasi genetik dari
penentuan jenis kelamin pada embrio kurang mendapatkan perhatian, hal ini
disebabkan karena tidak memberikan keuntungan yang berarti pada laju
peningkatan mutu genetik. Kerugian yang ditimbulkan dengan menggunakan metode
ini antara lain (a) rangkaian kromosom yang dapat dibaca sering tidak muncul,
terutama pada embrio yang mengalami recover sebelum hari ke-10, (b) embrio
harus dibiopsi, dan (c) prosedur ini sangat lama (memakan waktu 12 jam, bahkan
lebih dan rumit, sehingga harus dilakukan oleh tenaga ahli). Berdasarkan alasan
tersebut maka metode ini kurang cocok untuk diterapkan pada kegiatan
sehari-hari. Hasil transfer tunggal 8 embrio yang dikoleksi dari sapi FH yang disuperovulasi
7 hari setelah berahi dan dibiopsi menunjukan keberhasilan penentuan jenis
kelamin 5 embrio (62,5%) dari paruh embrio yang ditransfer memberikan angka
kelahiran 3 ekor. Keberhasilan tingkat kelahiran dengan embrio yang telah
ditentukan jenis kelaminnya ini adalah 60%. Pada kesempatan yang lain penulis
yang sama, memberikan laporan bahwa transfer dengan menggunakan 28 frozen
embrio yang sudah di thawing dengan hasil penentuan jenis kelamin 16 embrio
(57,1%), memberikan keberhasilan angka kelahiran sebanyak 3 ekor anak. Tingkat
kelahiran dengan menggunakan embrio yang telah ditentukan jenis kelaminnya ini
adalah 23,1% (termasuk paruh embrio yang degenerasi dan tidak ditransfer).
b. Penggunaan antibodi pada antigen
spesifikjantan (male specific antigen).
Pada prosedur
ini diperlukan antibodi untuk spesifik molekul permukaan sel pada jaringan
jantan. Embrio diinkubasi dengan antibodi, kemudian pada 30–60 menit
selanjutnya ditambahkan antibodi yang mengandung zat warna fluorescent. Embrio
kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop fluorescence. Keuntungan teknik
ini adalah pekerjaan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Sedangkan
kerugiannya adalah mahalnya mikroskop fluorescence yang digunakan.
c. Y-chromosome
yang spesifik terhadap probe–DNA.
Prosedur ini
dilakukan berdasarkan teknik biologi molekular. Penempatan probe-DNA dapat
dibuat untuk berikatan pada DNA yang ada pada y-chromosom, tidak pada chromosom
yang lainnya. Embrio dibiopsi, DNA dikeluarkan dari sel, dengan menggunakan
enzim atau dengan menggunakan radioaktif DNA probe yang berlabel, kemudian
diinkubasi dengan ekstrak embrional DNA. Apabila terdapat y-chromosomes probe
maka akan terikat. Kerugian dari prosedur ini adalah dilakukannya biopsi
terhadap embrio, namun hasil yang didapat lebih akurat jika dibandingkan dengan
hasil yang menggunakan teknologi terdahulu. Dengan menggunakan ychromosom yang
spesifik terhadap probe-DNA, 95% embrio sapi memberikan respons yang baik pada
teknik ini dan akurasi dari teknik ini adalah 98% (Lubis., 2000).
Seleksi &
Persiapan Donor/Resipien. Keberhasilan pelaksanaan aplikasi
TE tidak terlepas dari kondisi donor dan resipien. Untuk itu perlu dilaksanakan
seleksi:
l. Seleksi Donor Calon donor yang
akan dipakai harus diseleksi dengan kriteria sbb:
·
Memiliki genetik yang unggul (Genetik Superiority)
·
Mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi (High
Reproductivity), sehat secara serologis, bebas dari penyakit hewan menular
terutama penyakit-penyakit reproduksi seperti Brucellosis, IBR/IPV, EBL, BVD,
Leptoirosis, Trichomoniasis dan Vibriosis.
·
Memiliki nilai pasar tinggi
·
Sejarah reproduksi diketahui, mempunyai siklus birahi
normal dan kemampuan fertilitas tinggi. Jika telah memenuhi kriteria diatas
juga harus diperhatikan cara pemeliharaan ternak pakan yang diberikan sehingga
diperoleh kondisi optimum.
2. Seleksi
Resipien Pada calon resipien diberikan persyaratan sbb:
·
Umur minimal sudah beranak atau dara yang mempunyai
performans yang baik, mempunyai berat badan minimal 300 kg
·
Bebas penyakit menular terutama penyakit reproduksi
·
Sejarah reproduksi tidak menunjukkan gejala infertil,
mempunyai siklus estrus normal, tanda birahi terlihat jelas, intensitas lendir
birahi normal dan transparan dan mempunyai interval birahi antara l8 -24 hari
(Anonim., 2009).
2.4 Manajemen
Perkandangan
Kandang merupakan
bangunan yang digunakan untuk memberikan perlindungan dan kenyamanan kepada
ternak terhadap hujan, radiasi matahari, derasnya aliran angin dan bahaya dari
gangguan ternak lain sehingga proses fisiologis ternak dapat berlangsung secara
optimal.
Beberapa persyaratan kandang sapi
perah :
a. Penerangan yang cukup
b. Cukup mendapatkan sinar matahari
c. Ventilasi dan sirkulasi udara baik
d. Sumber air mudah dijangkau
e. Efektif dan efesien dalam penggunaan
tenaga kerja
f. Proses pembuangan feces dan kotoran
lainnya, baik padat maupun cair dapat berlangsung dengan baik
g. Lantai tidak licin dan tidak
digenangi air
h. Ukuran tepat, ternak leluasa
bergerak
i.
Tempat
pakan dan minum yang memadai
j.
Fasilitas
jalan dan sarana prasarana mendukung
k. Kandang sapi perah yang bersih dan
nyaman untuk optimalisasi fungsi fisiologis ternak
l.
Kandang
sapi perah yang bersih dan nyaman untuk optimalisasi fungsi fisiologis ternak
Pada pemeliharaan sapi perah, jika memungkinkan penempatan
sapi dapat dikelompokkan berdasarkan produktivitasnya sehingga memudahkan dalam
manajemen pemeliharaannya. Sapi yang sudah tidak produktif dapat diafkir segera
agar tidak membebankan peternak dalam pembiayaan. Jika ternak terserang
penyakit sebaiknya dipisahkan pada kandang isolasi agar tidak menular pada
ternak lainnya. Segera laporkan kepada petugas medis/paramedis dari
dinas/puskeswan jika tidak bisa menangani penyakit tersebut.
Farm Tegalsari memiliki lahan hijauan 17 ha dari total luas
balai. Terdapat 13 tipe kandang berdasarkan status ternak di BBPTU ini. Kandang
A, B, C dikhususkan untuk sapi dewasa dan sapi laktasi. Kandang D dan F
digunakan untuk sapi bunting dan beranak. Kandang E, E1, E2 digunakan untuk pedet
individu dan koloni. Kandang G untuk dara bunting, kandang H untuk pejantan
progeny, kandang I dan J untuk sapi dara, Kandang vistole untuk sapi laktasi
dan kandang K untuk sapi kering. Jumlah sapi induk di BBPTU adalah 231 ekor,
dara (umur >6 bulan) sebanyak 94 ekor, pedet (umur 1-6 bulan) sebanyak 169
ekor, sapi laktasi 116 ekor dan jantan muda 1 ekor. BPPTU-HPT memiliki
laboratorium yang digunakan untuk uji residu antibiotik, dan uji kualitas
susu.
Kandang merupakan bagian dari sistem pemeliharaan sapi
perah. Sistem perkandangan di Indonesia belum begitu banyak mendapat perhatian.
Bentuk dan ukuran kandang masih beraneka ragam. Persyaratan pembuatan kandang
masih belum terpenuhi. Disisi lain, pemerintah telah mengeluarkan ketentuan
tentang pembuatan kandang. Peraturan ini mengatur syarat pembuatan kandang
dengan memperhatikan perasaan, ketentraman dan kemampuan masyarakat. Perbedaan
konstruksi dan letak kandang disebabkan oleh peraturan setempat.
Kandang sapi perah sebaiknya dirancang agar efektif untuk
memenuhi persyaratan kesehatan dan kenyamanan ternak, enak dan nyaman untuk pekerja,
efisien untuk tenaga
dan alat-alat, pelaksanaannya dapat
disesuaikan dengan peraturan kesehatan.
Kandang dilengkapi oleh
bangunan dan alat-alat
lain. Bangunan pelengkap kandang adalah kamar susu dan gudang. Kandang
dan alat- alat saling disesuaikan agar penggunaannya efisien.
Kandang adalah tempat
ternak beristirahat dan
berteduh dari panas
dan hujan. Kandang didirikan dengan memperhatikan persyaratan sebagai
berikut:
1. Luas
kandang cukup. Luas
kandang disesuaikan dengan
jumlah sapi perah yang dipelihara.
2. Alas kandang padat dan tidak terlalu
keras. Jika perlu kandang dilapisi alas tidur jerami.
3. Ventilasi kandang
berfungsi dengan baik.
Udara masuk dan
keluar kandang dengan lancar.
Hindarkan angin bertiup langsung ke arah sapi perah.
4. Kandang harus terang. Usahakan
matahari pagi masuk ke dalam kandang.
5. Kandang selalu kering dan bersih.
Peternak sebaiknya lebih memperhatikan lagi keadaan ini.
6. Kandang dan
sekitarnya tetap tenang
dan aman. Hindarkan
gangguan yang mungkin timbul di
kandang.
Konstruksi kandang
sebaiknya memperhatikan persyaratan
pembuatan kandang ditambah dengan
beberapa hal lain.
Hal tambahan itu
terlihat sebagai berikut:
1. Lantai miring ke arah saluran
pembuangan dan tidak licin. Dengan
demikian, kotoran kandang mudah
dibersihkan dengan air dan tidak ke got. Selain itu, kebersihan kandang
selalu terjaga. Kemiringan
lantai hendaknya sebesar
5º atau 0,5% dan 2% masing-masing untuk kandang sapi laktasi dan dara.
2. Bahan-bahan kandang tidak
mempersukar kerja, pembersihan kandang dan pembasmian parasit.
3. Konstruksi kandang di dataran tinggi
dan rendah sebaiknya memperhatikan temperatur udara yang terjadi di dalam
kandang.
A. Lokasi
Kandang
Kandang sebaiknya
terletak pada tempat
yang lebih tinggi
dari lahan sekitarnya. Lantai
kandang dibuat 20 sampai 30 cm lebih tinggi dari lahan sekitarnya. Dengan
demikian, drainase kandang dapat dibuat lebih baik. Selain itu, pasokan air
juga sangat diutamakan. Kandang
dibangun di dekat
sarana transportasi. Dengan
demikian, bahan pakan mudah diangkut
ke peternakan. Bagian penjualan yang berhubungan dengan kandang terutama dianjurkan
dekat jalan raya.
B.
Jarak
Kandang
Kandang-kandang sebaiknya dibangun dengan jarak 6 sampai 8
meter yang dihitung dari masing-masing tepi atap kandang. Kandang isolasi dan
karantina dari kandang atau bangunan lainnya diberi jarak 25 m atau sekurang-kurangnya 10 m dengan tinggi tembok pembatas 2 m.
Kantor berjarak 25 hingga 30 m dari kandang. Tempat penimbunan kotoran terletak
100 m dari kandang.
C.
Rumah
dan Banguan Lain
Rumah peternakan
dibangun agar dapat
memperhatikan leluasa ke segala arah. Letak
rumah paling sedikit
30 m dari
jalan raya. Kandang
dan bangunan lainnya terletak di
samping atau belakang rumah peternak berjarak minimal 30 m. Lahan antara rumah
dan kandang disebut daerah layan. Rumah atau kamar susu dibuat di sisi kandang
pada daerah layan. Bangunan lain dikelompokkan ke daerah ini dan jika mungkin
terletak jauh dari kandang utama. Letak bangunan diatur berdasarkan urutan
kegiatan dan efisiensi kerja di petenakan sapi perah. Kandang utama adalah
kandang sapi perah.
1.
Kandang
darah tropik
Kandang di daerah tropik tidak perlu dibatasi dengan dinding yang rapat. Daerah tropik sebaiknya menggunakan kandang terbuka atau tanpa dinding. Dengan demikian, ventilasi berjalan baik, temperatur tidak panas dan sinar matahari dapat masuk kedalam kandang. Yang perlu diperhatikan hanyalah tiupan angin keras yang langsung masuk ke kandang. Letak kandang perlu diatur atau diberi pelindung angin. Atap sebaiknya dibuat tinggi. Jika perlu, kandang diberi alat tambahan pengatur udara.
Temperatur di dalam kandang dijaga relatif konstan dengan mengatur ketinggian dinding luar dan tepi atap sebelah bawah. Tinggi dinding luar kandang di dataran rendah 3 m, sedangkan dataran tinggi 2,1 m. Tinggi atap sebelah bawah pada kandang di dataran rendah 2,2 m dan di dataran tinggi 1,75 m. Kandang sapi perah di Indonesia belum semuanya mengikuti persyaratan teknis dan ketentuan yang berlaku, Peternak sebaiknya memperhatikan dan memahami hal yang berhubungan dengan pembuatan kandang. Perhatian dan pemahaman memungkinkan penerapan lebih baik.
2. Peralatan kandang
Peralatan kandang meliputi sekop, cangkul, sapu lidi, alat menempatkan sapi dan sebagainya. Penggunaan alat-alat ini disesuaikan dengan keadaan kandang dan kerja. Misalnya lebar got diatur sesuai dengan sekop.
Peternak sebaiknya juga membandingkan dengan peternakan lain. Peralatan modern membutuhkan penjelasan dari pabrik. Peralatan membutuhkan perawatan dan perhatian. Alat-alat yang digunakan sebaiknya tidak mahal. Penggunaan alat dapat menjaga kebersihan.
3. Kebersihan kandang
Kandang sebaiknya dijaga selalu bersih. Pembersihan kandang tergantung dari jumlah tenaga kerja yang tersedia dan pekerjaan yang ada. Kebersihan kandang mencerminkan pribadi peternaknya. Kandang sebaiknya pada periode tertentu dikapur.
III. KESIMPULAN
Dari uraian
pembahasan, dapat disimpulkan bahwa :
1.
Manajemen reproduksi yang diterapkan di BBTU HPT Baturraden
sudah mulai menggunakan Teknologi Reproduksi, seperti singkronisasi birahi,
Inseminasi Buatan, dan Transfer Embrio
2.
Manajemen Perkandangan di BBPTU HPT Baturraden sudah
menerapkan sedikit Animal Welfare, seperti adanya kandang freestall yaitu
kandang bebas untuk ternak.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, R. 2008. Voluntary Waiting Period. Vol.8.no.3
Anonimous. 2005. Petunjuk praktis beternak sapi perah.
Penerbit kanisus.
Anonim, 1995. Beternak Sapi Perah. Yayasan Kanisius, Yogyakarta.
Anonim, 2011a. Data Statistik Dinas Peternakan Kabupaten Enrekang 2010/2011. Dinas Peternakan Enrekang Sulawesi Selatan.
Anonim, 2011b. Perkembangan Sapi Perah.
Indonesia. http:// boger. com/index.php /
1995/10/07/ Sapi perah litbang/.
Diakses , 08 Desember 2014.
Anonim, 2011b. Perkembangan Sapi Perah.
Indonesia. http:// boger. com/index.php /
1995/10/07/ Sapi perah litbang/.
Diakses 08 desember 2014.
Anonim, 2011c. Penyakit Pedet. George Miller, Ellinbank© State of Victoria,
Department of Primary Industrie. Diakses , 08 desember 2014.
Anonim., Laporan pelaksanaan
Transfer Embrio. http://www.disnaksumbar.org. diakses 08 desember 2014).
Basyir, Arifin. 2009. Meningkatkan
Efisiensi Reproduksi Melalui Kelahiran Pedet http://www.vet-indo.com.
Diakses , 08 Desember 2014.
Direktorat jenderal
peternakan. 2009. Statistik peternakan
2009 direktorat
jenderal Peternakan. depertemen pertanian. Jakarta.
_________________________.2012. Transfer embrio (TE). Direktorat Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan,Kementerian Pertanian: Jakarta.
Djagra, I. B. 1989. Sapi Bali Betina Sebagai
Tenaga Kerja. Buletin ISPI Bali No. 1 Thn I.
Febriansyah. 2009. Penampilan dan Produksi Reproduksi Sapi Perah di Kecamatan Boyolali.
Skripsi. Fakultas Peternakanan Universitas Padjadjaran, Bandung.
Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction in Farm Animals. 6th Ed. Philadelphia: Lea &
Febiger. part 4:
reproductive failure.
Honarvar, M., Javaremi, A. N., Asthiani, S. R.,
Banadaki, M. D. 2010. Effect of Length of Productive Live on
Genetic trend of Milk Production and Profitability : Simulation Study. Academic
of Animal Science, College of Agriculture, University of Tehran, Karaj. African Journal of Biotechonoly
Vol.9(20).ISSN 1684-5315.
Ihsan,
A. K. 1992. Budiadaya Ternak Sapi Perah. Angkasa,
Jakarta.
Inchaisri, C. C., Jorritsma, R.,
Vosa, P.L.A.M., Van der Weijdena, G.C., Hogeveena, H. 2010. Determining The Optimal Voluntary Waiting
Period in Dairy Cows. Department of Farm Animal Health, Faculty of Veterinary Medicine, Utrecht University, The Netherlands Business Economics Group, Wageningen
University, Wageningen, The Netherlands
Department of Veterianry Medicine, Faculty of Veterinary Science,
Chulalongkorn University,
Thailand. Farm Animal Health Economics
Laming, S. 2004. Performans Reproduksi Sapi Perah dan Sahiwal
Cross di Kabupaten Enrekang. Skripsi. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Lubis., A, M. 2000. Pemberdayaan
bioteknologi reproduksi Untuk peningkatan mutu genetik ternak. WARTAZOA
Vol. 10 No. 1. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Miller, R. H,. Norman, H.
D., Khun, M. T., Clay, J. S., and Hutchison, J. S. 2007. Voluntary Waiting Period and Adobtion of Synchronized Breeding in Dairy
herd Improvement Herds. Animal Improvwment Programs Laboratory,
agricultural Research Service, USDA, Beltsville. J. Dairy Sci.90: 1594 :1606.
Niazi, A. A. K. 2003. Comparative Studies on the Reproductive
Efficiency of Imported and Local Born Friesian Cows in Pakistan. Journal of
Biological Sciences, 3.
Opsomer G, Grohn
YT, Hertl J, Coryn M, Deluyker H, de Kruif A. 2000. Risk factors for post partum ovarian dysfunction in high producing
dairy cows in Belgium: A field study. Theriogenology 53: 841-857.
Partodihardjo, S. 1985. Ilmu Produksi Hewan. Produksi Mutiara, Jakarta.
Patterson, D. J., Smith, M. F., and Scafer, D.
J. 2005. New opportunities to synchronize
estrus and facilitate fixed-time AI, Division of Animal Sciences,
University of Missouri-Columbia.
Prentice, D. 2006. The Voluntary Waiting Period. Abs
Techical Service Condsultan. http://animal science- extencion. tamu. edu /dairy /wdn.
html /www. absglobal.com diakses 08 desember 2014.
Prihatno,A. 2006. Beternak Sapi Perah Secara
Intensif. PT. Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Rioux , H. U., dan Rajjote,
W., G. 2006. Veterinary Reproduction and Obstetric. 6th
Ed. The English Language Book Society and Baillere Tinda London.
p:86.
Salisbury, G.M. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan
pada Sapi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Salisbury, g.w dan N.L.Vandemark .1985.
Fisiologi Reproduksi Dan Inseminasi
Buatan. Gadjah mada university press.
Yogyakarta.
Salverson, R. and Perry, G. 2007. Understanding
Estrus Synchronization of Cattle. South Dakota State University-Cooperative
Extension Service-USDA, Pp 1-6.
Setiawan, Putra.
2007. Proses Pembuatan Pupuk Kompos
Organik. Grasindo: Jakarta.
Siregar, A.R., P.
Situmorang, M. Boer, G. Mukti, J. Bestari Dan M. Purba. 1990. Pengkajian pemanfaatan teknologi inseminasi
buatan (IB) dalam usaha peningkatan populasi dan produktivitas sapi potong
nasional di Provinsi Sumatra Barat. Puslitbang Peternakan. Bogor.
Siregar, S. B. 2003. Sapi
Perah, Jenis, Teknik, Pemeliharaan dan Analisis Usaha. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.
Soehadji.
1995. Pengembangan Bioteknologi peternakan.
Keterkaitan penelitian, pengkajian dan Aplikasi. Lokakarya Nasional I
Bioteknologi Peternakan. Kerjasama Kantor menristek dengan Departemen
pertanian. Bogor.
Soetarno, T. 2003. Manajemen Budidaya Sapi Perah. Laboratorium Ternak Perah.
Stevenson, J.S. 2001. Reproductive management of dairy cows in
high milk-
producing herds. J. Dairy Sci. 84(E.Suppl.): E128 –
E143.
Sudono, A., R. F. Rosdiana, dan B. S. Setiawan.
2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif.
PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Sujono. 2011. Pengelolaan Reproduksi. http:// sujono. staff. umm. ac.id/files/ 2011/02
/ Kuliahh-Manajemen Ternak Perah-3.ppt. Diakses , 08 desember 2014.
Supriatna,
I dan F.H. Pasarribu. 1992. In Vitro
Fertilisasi, Transfer Embrio dan Pembekuan Embrio. Depdikbud, DIKTI dan PAU
IPB Bogor.
Supriatna, I. 1993. Metode-metode dasar pembekuan embrio
mamalia. Mata kulia
Inti Dalam Pelatihan Tugas teknisi. Dr. Bina prod. Peternakan. Balai pembibitan Ternak dan
hijaun makanan, purwokerto.
Suyasa. 1999. Pemanfaatan Probiotik Dalam Pengembangan
Sapi Potong. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Vol 2
No 1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Toelihere, M.R.1979. Fisiologi
Reproduksi Pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.
_____________.
1981. Fisiologis Reproduksi pada Ternak
jilid 2. Angkasa. Bandung.
______________1981. Inseminasi
Buatan pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.
______________
1985. Fisiologi dan reproduksi pada ternak. Penerbit angkasa . bandung.
Triwulaningsih,
E., T. Susilawati, dan Kustono. 2009. Reproduksi
dan inovasi teknologi reproduksi : Profil Usaha Peternakan Sapi Perah di
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Udin. Z. 1997. Seleksi resipien untuk transfer embrio
dengan menggunakan teknik Radio Immuno Assay (RIA). Jurnal Peternakan dan
Lingkungan. 03 (02) : 51-55.
Warwijk,
E.J. and ajisumarno. 1991. Ilmu pemuliaan
ternak. Fakultas peternakan. Universitas jenderal soedirman. Purwokerto.
Wijaya, Ibnu. 2008. Ilmu Reproduksi Ternak Mata Kuliah
Peternakan. Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Udayana.2008. http://one.indoskripsi.com diakses 08 desember 2014.