Komposisi Bahan Makanan
Dalam bahasa Inggris, makanan ternak dan makanan untuk manusia dibedakan. Makanan untuk manusia disebut food sedangkan makanan untuk hewan disebut feed. Bahan makanan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan. Tetapi tidak semua bahan makanan mempunyai nilai manfaat bagi tubuh. Bagian dari bahan makanan yang dapat dicerna, diserap serta bermanfaat bagi tubuh disebut Zat Makanan..
Zat Makanan terdiri dari 6 jenis, yakni ; air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Dari sini terlihat bahwa antara bahan makanan untuk ternak tidak jauh berbeda dengan bahan makanan untuk manusia. Semua zat makanan yang dibutuhkan oleh hewan juga dibutuhkan oleh manusia.
Kecuali air, tiap zat makanan tersebut bukan hanya satu macam, akan tetapi bermacam macam. Misalnya mineral tediri dari 15-21 macam mineral, 2 asam lemak, 8-11 asam amino. Vitamin juga dikenal dengan banyak macam. Oleh karena itu analisis bahan makanan banyak sekali. Karena banyak sekali macam zat makanan yang harus dianalisa, banyak orang mengelompokkan zat makanan tersebut menjadi beberapa kelompok, berdasarkan sifat kimia dan fisiknya. Usaha pengelompokan ini dirintis oleh sarjana Jerman antar lain oleh Thaer pada tahun 1809 dan oleh Henneberg dan Stohman (1860) metode Thaer tersebut disempurnakan menjadi metode proksimat atau juga dikenal dengan nama metode Weende, yang diambil dari nama tempat di Jerman. Dikatakan sebagai proksimat (proximate = pendekatan) karena metode ini adalah metode terdekat dalam menggambarkan zat zat makanan dari suatu bahan makanan.
Terlihat bahwa bahan makanan terbagi kedalam 10 zat makanan. Lima diantaranya, yaitu diperoleh dengan jalan menganalisa (Air, abu, protein, lemak, serat kasar). Lima lainnya dihitung sebagai selisih (bahan kering, bahan organik, BOTN, karbohidrat dan BETN). Oleh karena itu jelas bahwa hanya 5 dari zat makanan yang diketahui terwakili dalam analisis proksimat. Sedangkan vitamin tidak terlihat dalam diagram. Inilah salah satu kelemahan analisis proksimat.
Kadar bahan kering ditentukan sebagai % kehilangan bobot contoh bahan makanan setelah dikeringkan dalam oven sampai bobotnya tidak susut lagi, pada tekanan satu atmosfir dengan suhu diatas titik didih air. Dalam kondisi seperti itu, hanya tentu tidak hanya air saja yang menguap, akan tetapi bahan organik yang mudah menguap dan vitamin yang larut dalam air juga akan ikut hilang. Meskipun demikian kehilangan terbesar adalah berupa kehilangan air. Oleh karena itu dalam text book tentang ilmu nutrisi, kadar air dalam bahan makanan sering disebut dengan “moisture” bukan “water”.
Menurut AOAC penentuan kadar air dilakukan dengan memanaskan sample bahan makanan pada suhu 105 0 C selama 24 jam. Akan tetapi metode ini bukanlah satu satunya metode penentuan kadar air. Di Jerman, penentuan kadar air (bahan kering) dilakukan dengan memanaskan sample bahan makanan di dalam oven pada suhu 105 C selama 4 jam. Hasil penelitian Kaswari dkk. (2007) menunjukkan bahwa lama pemanasan 4 jam beberapa sample bahan makanan ternak tidak berbeda secara signifikan dengan lama pemanasan 24 jam. Akan tetapi laporan AOAC (2006) menunjukkan jika sample bahan makanan tersebut adalah sample akhir (tidak dilakukan analisis lanjutan terhadap sample tersebut) maka lama pemanasan 2 jam cukup untuk analisis kadar air bahan makanan.
Sekarang ini, banyak sekali tekhnik penentuan kadar air bahan makanan ternak. Diantarnya adalah dengan menggunakan freeze dryer, NIRS (Near Infra Red Spectroscopy), microwave, quick heater. Kecuali NIRS, semua metode tersebut mempunyai prinsip yang sama yakni menghilangkan air yang ada di dalam sample bahan makanan. Sedangkan NIRS menggunakan gelombang cahaya untuk menentukan molekul air yang ada di dalam contoh bahan makanan.
Beberapa bahan makanan ternak, terutama hijauan yang dilakukan pengawetan secara basah, seperti silase, memerlukan analisis yang berbeda untuk menentukan kadar airnya. Karena sifat silase yang banyak mengandung asam organic, yang mudah menguap, penentuan kadar air dengan memanaskan silase kurang tepat. Hal ini disebabkan oleh ikut menguapnya asam organik selama proses pemanasan. Dengan demikian kadar bahan kering yang diestimasi menggunakan dry oven kurang tepat. Untuk bahan bahan seperti ini, maka dilakukan penentuan kadar bahan kering dengan cara penyulingan. Cara ini sering disebut dengan tekhnik penyulingan toluene. Prosedur analisinya adalah sebagai berikut :
70 g contoh silase dimasukkan kedalam labu suling dan ditambahkan toluene 400 ml.
Larutan tersebut di didihkan .
Uap air dari larutan tersebut di kondensasikan dengan pendingin Lieblig sehingga uap air tersebut menetes kedalam labu ukur berskala.
Karena berat jenis toluene lebih kecil dibanding air, maka air terdapat di bagian bawah sedangkan toluene dibagian atas, sehingga jumlah air yang dilepaskan dapat dibaca pada labu ukur setelah pemanasan 90 menit.
Setelah 15 menit pembacaan diulang hingga jumlah air tidak bertambah.
Setelah dingin, volume air yang tertampung dicatat, misalnya = V ml.
10 ml dari air yang tertampung tersebut diambil dan dimasukkan kedalam erlemeyer 100 ml.
Ditambahkan 40 ml ethanol.
Larutan tersebut dititar dengan 0.1 NaOH dengan phenolpthalin sebagai indicator.
Gunakan rumus berikut untuk menghitung kadar air :
Dimana :
0.988 adalah faktor koreksi bobot jenis air terhadap suhu dan asam organik
w = gram bobot contoh silase
f = factor koreksi terhadap jenis asam yang larut dalam air silase
t = ml larutan NaOH yang terpakai
Kadar air suatu bahan makanan ternak perlu untuk diketahui, hal ini disebabkan oleh kerusakan yang dapat terjadi jika bahan makanan ternak mengandung kadar air yang tinggi. Bahan makanan yang mengandung air yang tinggi mudah berjamur atau busuk yang beracun.
Bahan Kering selain mengandung bahan organik juga mengandung bahan anorganik atau mineral. Dalam analisis proksimat, kadar mineral ditentukan dengan membakar contoh bahan makanan kedalam tanur pada suhu 6000 C selama 4 jam. Pada suhu yang demikian tinggi semua bahan organik menguap, sedangkan yang tertinggal adalah bahan anorganik atau abu. Kadar mineral yang ditentukan secara pembakaran di dalam tanur, tidak menggambarkan mineral apa saja yang ada di dalam bahan tersebut. Ada mineral mineral tertentu yang teruapkan atau terjadi reaksi yang dapat menyulitkan analisis lebih lanjut. Oleh karena itu kadar mineral yang diperoleh dalam analisa proksimat hanya memberi gambaran kasar tentang kandungan mineral suatu bahan makanan. Oleh karena itu dalam text book tentang nutrisi ternak, kadar abu sering disebut dengan „Ash“, bukan „mineral“. Metode pengeringan dengan menggunakan tanur atau sering disebut dengan pengabuan kering kurang disukai disebabkan oleh alasan alasan diatas. Oleh karena itu pengabuan yang lebih disukai adalah pengabuan basah, dimana dengan metode ini kadar mineral dapat dianalisa lebih lanjut. Prinsip pengabuan secara basah adalah dengan mengoksidasikan bahan makanan dalam asam keras yang terdiri atas campuran asam nitrat pekat dan asam perchlorat.
Protein bahan makanan dalam analisa proksimat dianalisa dengan menggunakan metode Kjeldahl. Dalam metode ini diasumsikan bahwa semua Nitrogen bahan makanan berasal dari protein dan semua protein bahan makanan mengandung N sebanyak 16%. Oleh karena itu, protein bahan makanan ditentukan dengan menganalisa kandungan Nitrogennya. Hasil yang diperoleh dikalikan dengan faktor 6.25, yaitu faktor kelipatan N yang diperoleh dari pembagian 100/16. Secara umum penentuan protein menurut analisa Kjeldahl adalah dengan mengubah Nitrogen bahan makanan menjadi ammonium sulfat. Setelah itu dilakukan pembebasan ammonia dengan menambahkan larutan NaOH. Ammonia yang dilepaskan akan ditangkap oleh asam borat dan dititar dengan asam sulfat. Dari prinsip tersebut jelas terlihat kelemahan kelemahan analisis Kjeldahl. Misalnya, tidak semua N bahan makanan adalah berupa protein. Protein adalah asam asam amino yang diikat oleh ikatan peptida. Nitrogen bahan makanan dapat berupa amida, asam nukleat, asam amino, glukosida, alkaloida dan garam garam amonium. Semua vitamin B mengandung N, maka jika dianalisa dengan metode Kjeldahl, maka vitamin tersebut akan terhitung sebagai protein. Selain itu kelemahan analisa Kjeldahl adalah, kadar N protein tidak selalu sama dengan 16%. Nilai 16% tersebut didapat dari rata rata kandungan N protein daging. Beberapa bahan makanan mengandung N lebih besar atau lebih kecil dari faktor 6.25. Oleh karena itu protein dalam analisis proksimat disebut dengan protein kasar.
Lemak merupakan unsur penting dalam bahan organik. Salah satu senyawa yang mengandung energi yang cukup besar adalah lemak. Bahan organik yang larut dalam pelarut organik disebut lemak sedangkan yang tidak larut dalam pelarut organik disebut dengan karbohidrat. Dalam analisis proksimat kadar lemak ditentukan dengan mengekstrak sample bahan makanan di dalam pelarut organik (diethyl ether atau petroleum ether). Setelah ekstraksi selesai, ether kemudian diuapkan hingga sample mengering. Bobot yang tertinggal adalah berat lemak sample bahan makanan. Lemak adalah trigliserida, yaitu ester gliserol dari asam lemak. Oleh karena itu dalam ekstraksi sample makanan, bukan hanya lemak saja yang diekstraksikan, akan tetapi semua yang larut dalam pelarut tersebut. Bahan bahan seperti, karotinoid, pigmen tanaman, vitamin A, D, E, dan K dalam analisis proksimat akan terhitung sebagai lemak, karena bahan tersebut larut dalam ether. Hasil yang diperoleh umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak sebenarnya dalam bahan makanan, jika dianalisa dengan analisis proksimat. Oleh karena itu kadar lemak dalam analisis proksimat disebut dengan lemak kasar. Dalam text book, lemak sering juga disebut dengan ether extract (EE).
Karbohidrat juga bagian dari bahan organik. Karbohidrat terdiri dari bermacam macam jenis. Dalam analisis proksimat, karbohidrat terdiri dari dua bagian, yaitu fraksi serat dan fraksi BETN (Bahan Ekstrak Tiada Nitrogen). Serat adalah karbohidrat yang tidak larut setelah dimasak berturut turut dalam larutan asam sulfat dan NaOH. Pembagian karbohidrat dengan cara seperti ini berhubungan dengan asumsi bahwa serat akan hancur dan hilang dengan dimasaknya bahan makanan dengan larutan asam dan basa tersebut. Serat juga diasumsikan mempunyai hubungan negativ dengan kecernaan. Serat yang kaya akan lignin dan sellulosa sulit dicerna oleh enzim pencernaan ternak. Sebaliknya BETN diharapkan mengandung gula dan pati yang mudah dicerna. Asumsi dalam analisis proksimat ini secara umum sesuai dengan kenyataan, akan tetapi tidak selalu demikian. Analisis yang lebih lengkap terhadap hijauan makanan ternak misalnya, menunjukkan lignin yang terdapat di dalam BETN, padahal lignin tidak dapat dicerna. Selain itu, analisis yang lebih lengkap juga menunjukkan bahwa sellulosa juga terdapat pada fraksi BETN. Oleh karena itu, Van Soest, seorang ahli kimia dari Amerika menciptakan analisis kimia yang lebih relevan untuk menganalisis hijauan untuk makanan ternak. Menurur analisis Van Soest bahan makanan (hijauan) dibagi atas beberapa fraksi fraksi tergantung dari kelarutannya dalam detergent netral dan detergen asam.
Keunggulan analisis Van Soest dibandingkan dengan analisis proksimat terutama dalam hal keeratan hubungan antara ADF dan ADL dengan manfaat bahan makanan bagi ternak. Bila kadar ADF atau ADL di dalam bahan makanan ternak tinggi, maka kecernaan bahan makanan tersebut rendah. Kadar protein atau N yang terdapat di dalam ADF juga erat hubungannya dengan kemampuan bahan makanan tersebut untuk dicerna. Meskipun analisis Van Soest mempunyai keunggulan dibandingkan dengan analisisi proksimat, akan tetapi analisis ini tidak dapat menggantikan analisis proksimat. Analisis Van Soest tidak dapat dengan jelas menggambarkan posisi 6 zat makanan yang ada di dalam bahan makanan.