I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Susu merupakan hasil utama dari ternak perah,
dengan kandungan gizi yang lengkap dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Nilai
gizi yang terkandung antara lain karbohidrat, protein, lemak, mineral, kalsium,
vitamin A, asam amino esensial maupun non esensial, dan sebagianya. Produksi
susu yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Indonesia masih
sangat rendah, karenanya diperlukan peningkatan hasil, baik kualitas maupun
kuantitasnya. Peningkatan permintaan susu yang tidak diimbangi dengan bertambahnya
populasi sapi, tentu saja mengakibatkan kebutuhan akan susu tidak terpenuhi.
Pemenuhan produksi susu dengan penambahan ternak sapi perah membutuhkan waktu yang lama.
Hal ini membuktikan bahwa pengembangan usaha
ternak sapi perah memiliki peluang dan prospek usaha yang sangat cerah.
Meskipun demikian, prospek usaha ternak sapi perah yang sangat menjanjikan di
Indonesia ini tidak akan memperoleh hasil yang memuaskan tanpa memperhatikan
tata laksana pemeliharaan sapi perah itu sendiri. Manajemen pemeliharaan induk laktasi sapi
perah merupakan pelaksanaan pemeliharaan ternak setiap hari yang kegiatannya
meliputi pemberian pakan dan minum, sanitasi kandang, pelaksanaan perkawinan,
pemerahan, pembersihan dan kesehatan sapi, dan sistem perkandangan.
Efisien pengembangbiakan dan
pengembangan usaha ternak perah hanya dapat dicapai apabila peternak memiliki
perhatian terhadap tata laksana pemeliharaan dan manajemen pengelolaan yang
baik. Faktor manajemen inilah yang memegang peranan penting dalam usaha ternak
perah. Maka dari itu adanya kegiatan magang ini diharapkan bisa mengetahui
semua manajemen yang berkaitan dengan perusahaan peternakan karena sangat
penting bagi mahasiswa untuk menunjang pengetahuan dan pengalaman dilapangan
sebelum terjun kedunia usaha peternakan nantinya.
1.2 Tujuan
1.2.1 Dapat
menjalankan
manajemenen pemberian pakan dengan baik.
1.2.2 Dapat
menjalankan manajemen pelaksanaan
perkawinan.
1.2.3 Dapat
menjalankan manajemen
pemerahan sesuai dengan prosedur.
1.2.4.Dapat menjalankan manajemen
pembersihan dan kesehatan sapi denganbaik.
1.2.5 Dapat menjalankan manajemen sistem
perkandangan yang benar.
1.3 Rumusan Masalah
1.3.1 Bagaimana Manajemen pakan yang
baik
1.3.2 Bagaimana manajemen perkawinan
yang maksimal
1.3.3 Bagaimana manajemen pemerahan
1.3.4 Bagaimana sanitasi kandang dan
ternak
1.3.5 Bagaimana sistim perkandangan
II. PEMBAHASAN
Pemeliharaan sapi sapi perah pada masa laktasi memerlukan kehati-hatian
baik dari pakan, kesehatan dan kandang. Sapi yang sedang produksi sangat
sensitif terhadap keadaan lingkungan sekelilingnya dan oleh sesuatu keadaan
yang berubah ubah. Oleh sebab itu, untuk menjaga kelangsungan produksi susu
tetap stabil, maka kegiatan pemeliharaan yang teratur dan menjadi kebutuhan
sapi perah harus dilakukan secara pasti.( Dirjen Peternakan, 2009 )
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan sapi masa laktasi,
antara lain :
3.1
Manajemen
pakan dan air minum
3.1.1 Manajemen Pakan
Dalam pemberian pakan sapi laktasi harus
diperhitungkan dan disesuaikan dengan kebutuhan yang didasarkan atas hidup
pokok, pertumbuhan dan produksi. Pemberian pakan secara individu pada
sapi laktasi di kandang atau milking parlor berubah mengarah ke sistem pemberian pakan yang baru.
Meskipun metode yang lebih baru tidak seefektif pemberian secara individual,
sistem ini lebih ekonomis daripada semua sapi diberi sejumlah konsentrat yang
sama tanpa memperhatikan produksi susu. Di samping itu, ada penghematan
tenaga kerja dan fasilitas. Yang paling baik perbaikan pemberian pakan
mengkombinasikan “seni dan ilmu pemberian pakan“ (Muljana,2005).
Pakan ternak yang
diberikan kepada sapi perah kandungan zat zat pakan seperti karbohidrat,
vitamin, protein, lemak air dan mineral. Pemberian pakan yang baik juga harus
mempertimbangkan phalatabilitas dan aspek ekonomis. Pada pemberian pakan fase
laktasi dikenal Phase Feeding. Phase Feeding merupakan suatu program pemberian pakan yang
dibagi ke dalam periode-periode berdasarkan pada produksi susu, persentase
lemak susu, konsumsi pakan, dan bobot badan. Lihat ilustrasi bentuk dan
hubungan kurva produksi susu, % lemak susu, konsumsi BK, dan bobot badan.
Didasarkan pada kurva-kurva tersebut, didapatkan 4 fase pemberian pakan sapi
laktasi:
1. Fase 1,
laktasi awal (early lactation), 0 – 70 hari setelah beranak.
Selama periode
ini, produksi susu meningkat dengan cepat, puncak produksi susu dicapai pada
4-6 minggu setelah beranak. Pada saat ini konsumsi pakan tidak dapat memenuhi
kebutuhan zat-zat makanan (khususnya kebutuhan energi) untuk produksi susu,
sehingga jaringan-jaringan tubuh dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan. Selama
fase ini, penyesuaian sapi terhadap ransum laktasi merupakan cara manajemen
yang penting. Setelah beranak, konsentrat perlu ditingkatkan 1-1,5 lb per hari
untuk memenuhi kebutuhan zat-zat makanan yang meningkat dan meminimisasi
problem tidak mau makan dan asidosis. Namun perlu diingat, proporsi konsentrat
yang berlebihan (lebih dari 60% BK ransum) dapat menyebabkan asidosis dan kadar
lemak yang rendah. Tingkat serat kasar ransum tidak kurang dari 18% ADF, 28%
NDF, dan hijauan harus menyediakan minimal 21% NDF dari total ransum. Bentuk
fisik serat kasar juga penting, secara normal ruminasi dan pencernaan akan
dipertahankan bila lebih dari 50% hijauan panjangnya 1” atau lebih.
Kandungan
protein merupakan hal yang kritis selama laktasi awal. Upaya untuk memenuhi
atau melebihi kebutuhan PK selama periode ini membantu konsumsi pakan, dan
penggunaan yang efisien dari jaringan tubuh yang dimobilisasi untuk produksi
susu. Ransum dengan protein 19% atau lebih diharapkan dapat me-menuhi kebutuhan
selama fase ini. Tipe protein (protein yang dapat didegradasi atau tidak
didegradasi) dan jumlah protein yang diberikan dipengaruhi oleh kandungan zat
makanan ransum, metode pemberian pakan, dan produksi susu. Sebagai patokan,
yang diikuti oleh banyak peternak (di luar negeri) memberikan 1 lb bungkil kedele
atau protein suplemen yang ekivalen per 10 lb susu, di atas 50 lb susu.
Bila zat makanan yang dibutuhkan
saat laktasi awal ini tidak terpenuhi, produksi puncak akan rendah dan dapat
menyebabkan ketosis. Produksi puncak rendah, dapat diduga produksi selama
laktasi akan rendah. Bila konsumsi konsentrat terlalu cepat atau terlalu tinggi
dapat menyebabkan tidak mau makan, acidosis, dan displaced
abomasum. Untuk meningkatkan konsumsi zat-zat makanan:
1. Memberi hijauan kualitas tinggi,
2. Protein ransum cukup,
3. Tingkatkan konsumsi konsentrat pada
kecepatan yang konstan setelah beranak,
4. Tambahkan 1,0-1,5 lb lemak/ekor/hari
dalam ransum,
5. Pemberian pakan yang konstan, dan
6. Minimalkan stress.
2. Fase 2,
konsumsi BK puncak, 10 minggu kedua setelah beranak.
Selama fase ini, sapi diberi pakan berkualitas untuk mempertahankan produksi susu
puncak selama mungkin. Konsumsi pakan mendekati maksimal sehingga dapat
me-nyediakan zat-zat makanan yang dibutuhkan. Sapi dapat mempertahankan bobot
badan atau sedikit meningkat. Konsumsi konsentrat dapat banyak, tetapi jangan
melebihi 2,3% bobot badan (dasar BK). Kualitas hijauan tinggi perlu disediakan,
minimal konsumsi 1,5% dari bobot badan (berbasis BK) untuk mempertahankan
fungsi rumen dan kadar lemak susu yang normal. Untuk meningkatkan konsumsi
pakan:
1.
Memberi hijauan dan konsentrat tiga
kali atau lebih sehari,
2.
Memberi bahan pakan kualitas tinggi,
3.
Membatasi urea 0,2 lb/sapi/hari,
4.
Meminimalkan stress,
5.
Menggunakan TMR (total
mix ration).
Problem yang
potensial pada fase 2, yaitu:
1. Produksi susu turun dengan cepat,
2. kadar lemak rendah,
3. Periode silent heat (berahi
tidak terdeteksi),
4. Ketosis.
3. Fase 3,
pertengahan – laktasi akhir, 140 – 305 hari setelah beranak.
Fase ini merupakan fase yang
termudah untuk me-manage. Selama periode ini produksi susu menurun, sapi
dalam keadaan bunting, dan konsumsi zat makanan dengan mudah dapat dipenuhi
atau melebihi kebutuhan. Level pem-berian konsentrat harus mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan produksi, dan mulai mengganti berat badan yang hilang selama
laktasi awal. Sapi laktasi membutuhkan pakan yang lebih sedikit untuk mengganti
1 pound jaringan tubuh daripada sapi kering. Oleh karena itu, lebih
efisien mempunyai sapi yang meningkat bobot badannya dekat laktasi akhir daripada
selama kering.
2.1.2 Pemberian Air Minum
Sebagian besar kebutuhan air bagi
ternak ruminansia dipenuhi dari air dan selebihnya berasal dari ransum dan dari
proses metabolisme yang terjadi pada tubuh ternak. Menurut Muljana (1987),
jumlah air yang diminum tergantung pada ukuran tubuh, temperature lingkungan,
kelembaban udara dan jumlah air yang ada pada pakan. Sudono A(1990) menambahkan
bahwa air yang dibutuhkan seekor sapi perah tidak cukup bila hanya diharapkan
dari hijauan saja, walaupun kadar air hijauan sekitar 70%-80%. Air yang
diperlukan seekor sapi perah sekitar 37-45 liter/hari. Sapi laktasi diberikan air minum secara ad-libitum yang diletakkan dalam bak air minum di
samping bak pakan. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Sudono et al.(2003),
bahwa jumlah air minum dibutuhkan untuk menghasilkan 1 liter susu adalah 4
liter . Air minum yang dikonsumsi rata-rata
per ekor adalah 47-50 liter.
Menurut Siregar (1995), air minum yang dibutuhkan ternak sapi perah untuk
memproduksi susu sekitar 30-40 liter per hari. Air minum tersebut diperoleh
dari sumur yang terdapat di dalam area peternakan. Air dari sumur dipompa
dengan mesin pompa air dan disalurkan kedalam bak penampung air dengan
menggunakan peralon. Dari bak penampungan air dialirkan ketiap-tiap kandang
dengan peralon yang didesain pada tiap kandang.
2.2.
Pengelolaan Reproduksi Sistem perkawinan
Perkawinan
alami ini dilakukan dengan cara memasukkan sapi betina ke dalam kandang kosong
dan diikat kuat guna mempesempit ruang gerak sapi dan mendatangkan pejantan
pada betina untuk dilangsungkan perkawinan. Mandor, teknisi, serta beberapa
pekerja kandang membantu jalannya
perkawinan sapi apabila tanda-tanda birahi sudah tampak setelah 8 jam
berlangsung dari awal birahi. Tanda- tanda birahi meliputi sapi tampak gelisah,
nafsu makan berkurang, produksi susu menurun (untuk sapi yang sudah laktasi),
keluar cairan bening putih dan pekat dari vagina. Menurut Toelihere (1985),
waktu yang tepat untuk melakukan perkawinan adalah 9 jam setelah tampak gejala
birahi sampai 6 jam setelah birahi berakhir. 2-3 bulan setelah melahirkan sapi
perah harus sudah dikawinkan kembali (Anonimus,1995). Menurut Muljana (1982)
bahwa sapi betina yang tidak bunting setelah dikawinkan akan mengalami siklus
birahi 21 hari sekali dan lama birahi rata-rata 18 jam.
2.3 Pemerahan
Pemerahan
Sapi yang sedang berproduksi memiliki jadwal pemerahan setiap hari yang pada
umumnya di lakukan 2 kali sehari (Anonimus, 1995). Jadwal pemerahan yang
teratur dan seimbang akan memberikan produksi susu yang lebih baik dari pada
pemerahan yang tidak teratur dan seimbang. Sebelum pemerahan dilakukan, ambing
dicuci terlebih dahulu agar susu tidak terkontaminasi dengan kotoran. Kemudian
peralatan yang digunakan yaitu : ember,
minyak kelapa sebagai pelicin dan penyaring susu disiapkan. Menurut Siregar
(1995), bahwa sebelum pemerahan, puting diolesi dengan pelicin. Menurut Blakely
dan bade (1992) bahwa proses pelepasan susu akan terganggu bila sapi merasa
sakit dan ketakutan. Selain itu tangan pemerah harus bersih, dan kuku tidak
boleh panjang, karena dapat melukai puting susu dan juga untuk menghindari
terkontaminasinya susu oleh kotoran yang mengandung bakteri.
Metode
pemerahan yang sering
digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Whole
Hand
Metode ini dilakukan dengan
cara jari memegang puting susu pada pangkal puting diantara ibu jari dan
telunjuk dengan tekanan diawali dari atas yang diikuti jari tengah, jari manis
dan kelingking seperti memeras. Pemerahan secara Whole hand membutuhkan waktu
rata-rata 6,64 menit untuk memerah seekor sapi dan cara ini digunakan untuk
sapi yang putingnya panjang.
b. Stripping
Metode ini dilakukan
dengan cara puting dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk yang digeserkan
pada pangkal puting bawah sambil dipijat. Pemerahan secara Stripping rata-rata
waktu yang dibutuhkan untuk memerah seekor sapi adalah 7,72 menit dan cara ini
digunakan untuk sapi yang ukuran putingnya pendek. Cara pemerahan tersebut sesuai dengan
pendapat Syarief dan Sumoprastowo (1985)
yang menyatakan bahwa whole hand merupakan cara terbaik untuk sapi yang
memiliki puting panjang dan produksi susu tinggi sedangkan cara Strippen biasa
digunakan untuk sapi yan putingnya pendek.
c.
Pemerahan
dengan mesin
Pemerahan susu dengan mesin masih
sedikit digunakan di Indonesia, hanya peternakan dalam skala besar yang
menggunakannya. Cara kerja dengan menggunakan mesin perah inihampir sama dengan
pemerahan pakai tangan, hanya saja dibedakan dengan dengan mesin. Pemerahan
berjalan dan air susu mengalir dalam ember. Lama pemerahan untuk setiap sapi
perah kurang lebih 8 menit. Hal ini sangat tergantung pada banyaknya produksi
susu yang dihasilkan (Dirjen Peternakan, 2009).
2.4
Sanitasi kandang dan Ternak
Sanitasi kandang dilakukan dengan cara
membersihkan tempat pakan dan tempat minum,
feses serta sisa pakan yang tercecer pada lantai kandang. Lingkungan
kandang yang bersih dimaksudkan agar sapi tidak terserang penyakit dan susu
yang dihasilkan tidak terkontaminasi oleh kotoran. Hal ini sesuai dengan pendapat
Williamson dan Pyne (1993), bahwa lingkungan kandang sapi harus bersih supaya
saat pemerahan susu tidak terkontaminasi serta menjaga kesehatan sapi.
Sumoprastowo (1990), bahwa memandikan sapi hendaknya dilakukan setiap hari
sekitar pukul 06.00 - 08.00 WIB, yakni sebelum sapi diperah sehingga harus
selalu bersih setiap kali akan diperah terutama bagian lipatan paha sampai
bagian belakang tubuh. Sebab kotoran yang menempel pada tubuh sapi akan
menghambat proses penguapan pada saat sapi kepanasan, sehingga energi yang
dikeluarkan untuk penguapan lebih banyak dibanding dengan energi untuk
pembentukan susu.
Pemeliharaan kuku perlu mendapat
perhatian karena ini sebaian dari sanitasi dari pemeliharan sapiperah, apalagi
saat laktasi kemungkinan dapat menurunkan produksi. Pemotongan kuku dilakukan
setiap enam bulan sekali. Pemotongan dilakukan agar posisi kedudukan sapi saat
berdiri serasi. Kuku dipotong pada bagian lapisan tanduk pada telapak kaki
sampai rata sehingga bobot sapi terbagi rata pada keempat kakinya (Dirjen
Peternakan, 2009).
2.5.
Perkandangan
Bangunan
kandang sebaiknya diusahakan supaya sinar matahari pagi bisa masuk ke dalam
kandang. Sebab sinar matahari pagi tidak begitu panas dan banyak mengandung
ultraviolet yang berfungsi sebagai disinfektan dan membantu pembentukan vitamin
D. Pembuatan kandang sebaiknya jauh dari pemukiman penduduk sehingga tidak menganggu masyarakat baik dari
limbah ternak maupun pencemaran udara (Girisonta, 1980).
Sistem
perkandangan merupakan aspek penting dalam usaha peternakan sapi perah. Kandang
bagi sapi perah bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal saja, akan tetapi
harus dapat memberikan perlindungan dari
segala aspek yang menganggu (Siregar, 1993), seperti untuk menghindari ternak
dari terik matahari, hujan ,angin kencang, gangguan binatang buas, dan pencuri
(Sugeng, 2001).
Ukuran kandang
induk laktasi yaitu lebar 1,75 m dan panjang 1,25 m serta dilengkapi tempat
pakan dan minum, masing-masing dengan ukuran 80 x 50 cm dan 50 x 40 cm. Kandang
yang baik mempunyai persyaratan, seperti lantai yang kuat dan tidak licin,
dengan kemiringan 2-5º
dan kemiringan atap 30º serta disesuaikan dengan suhu dan kelembaban lingkungan
sehingga ternak akan merasa nyaman berada di dalam kandang serta letak selokan
dibuat pada gang tepat di belakang jajaran sapi (Girisonta, 1995).
Menurut
konstruksinya kandang sapi perah dapat dibedakan menjadi dua yaitu kandang
tunggal yang terdiri satu baris dan kandang ganda yang terdiri dari dua baris
yang saling berhadapan (Head to Head ) atau berlawanan (Tail to Tail). Tipe
kandang Head to Head dirancang dengan satu gang bertujuan agar mempermudah saat
memberi pakan dan efisien waktu, sedangkan tipe kandang Tail to Tail terdapat 2
gang dengan tujuan untuk mempermudah saat membersihkan feses (Anonimus, 2002).
Untuk bahan atap kandang dapat menggunakan genting, seng, asbes, rumbia, ijuk/
alang-alang, dan sebagainya. Menurut Girisonta (1980) bahan atap kandang yang
ideal di negara tropis adalah genting. Dengan berbagai pertimbangan yakni
genting dapat menyerap panas, mudah didapat, tahan lama, antara genting yang
satu dengan yang lain terdapat celah sehingga sirkulasi udara cukup baik.
III. KESIMPULAN
Pemeliharaan sapi sapi perah pada masa laktasi memerlukan kehati-hatian
baik dari pakan, kesehatan dan kandang. Sapi yang sedang produksi sangat
sensitif terhadap keadaan lingkungan sekelilingnya dan oleh sesuatu keadaan
yang berubah ubah. Oleh sebab itu, untuk menjaga kelangsungan produksi susu
tetap stabil, maka kegiatan pemeliharaan yang teratur dan menjadi kebutuhan
sapi perah harus dilakukan secara pasti.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemeliharaan sapi masa laktasi
adalah pemberian pakan, air minum, pemerahan, sanitasi kandang dan ternak
berupa pembersihan kandang, pemandian sapi dan pemotongan kuku serta
perkandangan. Semua itu menunjang performa produksi susu baik secara kuantitas
ataupun kualitas. Pemeliharaan yang baik menghasilkan produksi yang baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Akoso, B. T. 1996. Kesehatan Sapi. Kanisius.Yogyakarta.
Anonimus.1995. Petunjuk
Beternak Sapi Potong dan Kerja. Kanisius.Yogyakarta.
________.1996. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah .Kanisius.
Yogyakarta.
________. 2002. Beternak Sapi Perah. Kanisius. Yogyakarta.
Blakely, J dan D.H, Bade.
1994. Ilmu Peternakan. Edisi ke empat. Di terjemahkan oleh Srigandono, B.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Budiharjo dan Ernawati, 2002. Intergrasi
Padi dengan Sapi Potong. Badan Penelitian
dan pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jawa Tengah.
Dirjen Peternakan. 2009. Petunjuk Pemeliharaan
Sapi Perah. Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Sapi Perah Baturaden.
Baturaden.
Djarirah, A.S. 1996.
Pengembangan Persusuan dan Dampak Bagi Pengembangan Operasi dan Peternak.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Djojowidagdo, S. 1982.
Mastitis Mikotik, Radang Kelenjar Susu oleh Cendawan pada Ternak Perah. Warta
Zoa 1 : 9 – 12. Kanisius. Yogyakarta.
Girisonta. 1995. Petunjuk
Praktis Beternak Sapi Perah .Kanisius. Yogyakarta. Hadiwiyoto, S. 1983. Tekhnik Uji Mutu Susu
dan Hasil Olahannya. Liberty. Yogyakarta.
Kusnadi, U. 1983.
"Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah yang Tergabung dalam Koperasi di
Daerah Istimewa Yogyakarta", Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Mukhtar, A. 2006. Ilmu
Produksi Ternak Perah . Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) dan (UNS Press). Surakarta.
Muljana, B.A. 1987.
Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak Perah. CV.Aneka Ilmu. Semarang.
___________. 2005 Pemeliharaan dan Kegunaan Ternak
Sapi Perah. Penerbit Aneka Ilmu. Semarang.
Sarwono, B. dan H.B.Arianto.
2002. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar Swadaya. Jakarta.
Siregar D.A. 1996. Usaha
Ternak Sapi. Kanisius Yogyakarta.
Siregar S. B. 1993. Sapi
Perah, Jenis, Tekhnik Pemeliharaan dan Analisis Usaha. Angkasa, Bandung.
__________. 1996. Konsep Peraturan Makanan
Ternak tentang Standar Makanan Sapi Perah. Usaha Angkasa. Bandung.
Siregar, A.G.A. 1995. Pengaruh
Cuaca dan Iklim Pada Produksi Susu. Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Kedokteran Hewan. Jakarta.
Sitorus, P.E. 1983.
Perbandingan Produktivitas Sapi Perah Impor di Indonesia. Laporan Khusus
Kegiatan Penelitian Periode Tahun 1982-1983. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Soebandryo. 2001. Pemanfaatan
Limbah Ternak. Trobos, edisi 11 hlm 7. Jakarta.
Sudono, A. 1983. Perkembangan
Ternak Ruminansia Besar Ditinjau dari Ilmu Pemuliaan Ternak Perah di Indonesia.
Proceeding Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. Puslitbangnak. Bogor.
Sudono,
A. 1990. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Bina Produksi Pertanian.
Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
_________. 1999. Produksi Sapi Perah. Departemen
Ilmu Produksi Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
_________. 2003. Keuntungan Dalam
Pengolahan Limbah Ternak. Trobos. Jakarta. Produksi Ternak. Fakultas Peternakan
IPB . Bogor.
Sudono, A., R. F. Rosdiana,
dan B. S. Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif . Agromedia
Pustaka. Jakarta.
Sugeng, Y.B. 2001. Laporan
Feasibility Study Sapi Perah di Daerah Sumatera Utara, Survey Agro Ekonomi.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Sutardi, T. 1983. Pengaruh
Kelamin dan Kondisi Tubuh Terhadap Hubungan Bobot Badan dengan Lingkat Dada
pada Sapi Perah. Media Peternakan, Agromedia Pustaka. Jakarta.
Sutardi, T. 1984. Konsep
Pembakuan Mutu Ransum Sapi Perah. Institut Pertanian Bogor, Fakultas
Peternakan. Jakarta.
Syarief, M.Z. dan
Sumoprastowo, C.D.A. 1985. Ternak Perah. CV.Yasaguna. Jakarta.
Toelihere, M.Z. 1985. Ilmu
Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Widodo. 2003. Bioteknologi
Susu. Lacticia Press. Yogyakarta.
Williamson, G. dan W.J.A.
Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.Diterjemahkan oleh Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Zainuddin, G. 1982. Hijauan Makanan Ternak, Apa dan Bagaimana.
Swadaya Warta Persusuan Indonesia. Jakarta.